Sabtu, 21 Juni 2014 0 komentar

Ukhuwah

cuma kata-kata kebiasaan yang selalu hadir dalam bicara, tapi ukhuwah melahirkan sebuah rasa yang luar biasa melalui seuntai kata-kata yang biasa.
sepertimana kita memegang tasbih untuk berzikir, terasa syahdu. terasa dekat, bilamana zikir itu teralun syahdu melalui hati seraya tangan mengerak, terzahir dibibir.
Ukhwah ini juga begitu, saat tangan berpegang erat, menyapa hati untuk bertaut pada Dia, yang mempersatukan jiwa-jiwa dalam satu Cinta.
Apalagi yang lebih bermakna dalam nikmat persaudaraan ini, selain sebuah ukhwah yang mengingatkan kita tentang Allah.
Apalagi nikmat rindu yang kita punya, melainkan bersama-sama menyatakan rasa rindu pada Allah, disepertiga keheningan malam.
setiap hal yang kita lalui takkan terlupakan. 
0 komentar

Zona Abstrak

Perputaran roda kehidupan membawaku pada zona abstrak lagi, hingga nalarku tak mampu memfilternya, hanya rasa yang perlahan menggerogoti. 
Dan kini, hidupku melewati lorong gelisah. Lorong yang gelap tanpa lampu jawaban yang jelas, hanya kunang-kunang tanda tanya yang semu menerangi.
 Aku pun ingin pergi pada lorong hidup bahagia…
Tapi entah dimulai kapan, dengan cara seperti apa, dengan siapa, dan dari mana…
 
Kamis, 19 Juni 2014 0 komentar

Bertaruh

Betapa hati membuat hidup tampak lebam dimana-mana. Seperti jingganya senja yang menyedihkan, seperti rerumputan liar yang memonopoli pekarangan. Juga seperti, aku mengenal kamu saat sedang melucuti jiwa dari durja. Atau barangkali, kala itu, jiwa kita memang di tengah-tengah embara lalu bertemu…
Mungkin kiranya kita sejenak berterima kasih pada hati. Yang menjadikan kasat dalam rasa terbuncah keluar dalam kata-kata. Yang selalu jujur membisikkan kisah tentang apa-apa yang belum terjadi. Yang selalu peka tentang apa-apa yang biasa dianggap buta. Bukankah isyarat itu sebenarnya ada dan nyata?
Hati sesungguhnya tak pernah memilih pihak. Ia sejatinya hanya mengalir dan kemudian sejenak tertambat. Tetapi sebagaimana ulir selalu pulang kepada keleluasaan bukan? Kepada penerimaan yang lapang. Bagai mata air yang mengalir ke sungai dan sungai yang meneruskan sampai ke lautan.
Akan tetapi jika teman sepanjang perjalanan yang kini tidak lagi memihak, rasa, hati dan waktu pun bisa tidak lagi menjadi kawan. Jarak bisa pula dipersalahkan, begitu juga komitmen untuk saling menopang langkah. Ulir tak lagi lancar, bahkan bisa pula naik dan terjadilah banjir bandang. Tidak ada yang ingin berkalung kesedihan dan penderitaan, terutama dalam cinta.
Tak mungkin ada kompromi pula dalam sebuah cinta. Jikalau ada mungkin itu hanya akal-akalan semata yang mengatasnamakan cinta demi sebuah kepentingan. Kepentingan keluarga, kepentingan eksistensi dan bahkan kepentingan masa depan. Lantas mengapa tanya ini hanya berakhir pada satu sisi saja? Mungkin karena sisi lainnya tak lagi punya tujuan sama, mungkin karena alirnya tertambat entah kemana sedangkan pasangannya sudah bergulir duluan.
Tak ada yang bisa dipersalahkan. Bahkan untuk cinta maupun rindu. Untuk temu maupun pisah. Untuk pergi maupun kembali.
Akan tetapi…
Jika ada yang berkata bahwa kebahagiaan adalah pertaruhan antara dua insan, maka mungkin bisa kita jawab bersama "Aku sedang kalah taruhan".



@dinanurhayatii

Selasa, 17 Juni 2014 0 komentar

Curhatan Mahasiswi Akhir


Saya, mahasiswi akhir yang akhir-akhir ini disibukkan dengan berbagai macam tugas dari kampus yang sangat menyita waktu dan pikiran saya. terlebih deadline dan anak-anaknya sedolah-olah mengejar-ngejar saya.

Okey. Kali ini saya merasakan rasanya seperti mahasiswa betulan. Saat saya harus benar-benar fokus pada satu tujuan. Berhari-hari, bermalam bahkan tidak peduli dengan kondisi serta lelah ditubuh saya. Kemarin-kemarin saya seperti sonic, tau kan sonic? Itu loh, tokoh yang ada di cartoon atau games-games yang larinya tercepat. Ya, seperti itu. Terbayangkan bukan? Saya merasakan menjadi tokoh cartoon itu.

Berawal dari pengajuan judul yang di tolak oleh Dosen Pembimbing. Ah! Memang penolakan tersebut sangat menyakitkan. Berhari-hari saya bingung dan tidak ada ide untuk pengajuan judul terlebih tempat untuk riset saja masih blank, ngga tau dimana dan mau kemana. Selama 4x saya tidak ikut bimbingan, karena masih galau mau mengajukan judul dan tempat mana yang mau saya singgahi untuk penelitian. Saya sempat berfikiran negatif kalau saya akan mengulangnya ke periode 2, beserta fikiran-fikiran negatif saya bergelanyutan di kepala saya.

Selama 4x tidak mengikuti bimbingan, saya tidak hanya diam. Namun saya tetap pergi mencari tempat untuk riset. Tapi.... penolakan terus terjadi. Semakin saya pesimis dan semakin pikiran-pikiran negatif itu bermunculan dikepala saya. “Ah, sudah. Capek ditolak sana sini. Atau ikut periode depan saja? Tapi kan sayang, biayanya nambah belum lagi lulusnya jadi telat. Inget! Target lulus umur 20th, kalau ikut priode selanjutnya umur udah bukan 20th lagi” ujar ku didepan cermin.

Saya cerita kepada ibu, esok harinya ibu membantu saya mencari tempat riset. Kesana kemari ditemani ibu, hasilnya nihil. Sampai akhirnya ibu cerita kepada bapak, dan ternyata bapak memiliki teman yang mempunyai usaha sendiri yang cukup besar. Okey, pergi ditemani oleh bapak. sesampai ditempat ternyata pemiliknya sedang tidak ada, dan disuruh kembali lagi sekitar 3 jam lagi. “Nanti, kesini aja sendiri yah.” ujar Bapak
ngga mau” ujar ku dengan manja.
Terkadang kemanjaan ku dengan orangtua dan teman sering muncul, yaa.. aku pemberani tapi manjaan. Hehe

Oke, lanjut...
Taraaaaaaaa.... akhirnya mendapat persetujuan ditempat tersebut. Esok harinya aku mengikuti bimbingan dan telah membawa selembar kertas pengajuan judul Tugas Akhir ku. disini lah puncaknya, terlihat musam dalam wajah dosen pembimbingku. “Judulnya ini yah, sebenernya udah banyak sih yang menggunakan tema ini....” ujar Dosen Pembimbing
“yang bener bu? Yah bu.. aku udah nyari-nyari tempat untuk riset tapi susah banget. Ditolak-tolak. Bu tolong lah buuu.” ujar ku dengan mata berkaca-kaca.
“saya kan belum selesai bicara, karena kamu mengambilnya mengenai bahan baku maka saya izinkan. Karena belum ada yang ini” ujar nya.
Sambil menghela nafas, aku mengucapkan Alhamdulillah.
“Besok bawa lembar konsultasi dan bikin jadwal implementasi ya.”
“siap bu!!” jawabku dengan tegas

Dosen pembimbing ku memberikan 3  hari dalam seminggu untuk bimbingan sedangkan asisten dosennya 2 hari. Pada pengajuan judul pertama dan kedua sudah lewati. Selama seminggu itu. Saya mengerjakan seharian untuk bab 1 sendangkan dua hari untuk bab 2. Apa yang saya lakukan berbeda dengan teman-teman saya, saat mereka masih bersantai-santai, saya mulai sigap dan terus mengerjakannya. Entah benar atau salah biar dosen pembimbing yang menilai. Pada pengerjaan bab 3 sudah mulai tidak terkendali waktu tidur saya, tidur malam mulai jam 23.00. Masih wajar.

Nah disini lah puncaknya, saat mulai memasuki bab 4 dan bab 5 saya berhari-hari tidak tidur, setiap hari hanya didepan laptop. Bangun tidur saya langsung menyalakan laptop, selesai mandi, sholat dan tilawah laptop lagi, makan sembari ngerjain TA, semua itu saya lakukan terus menerus. 6x saya tidak tidur seharian. Waktu tidur saya, saya kurangi dengan mengerjakan Tugas Akhir. Meskipun keesokkan harinya kuliah, tetap saja saya tidak tidur malamnya. Tidur pun hanya satu jam sebelum berangkat kuliah, dan satu jam pada saat berangkat dan pulang kuliah, tidur didalam bus. “Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?” Ngerjain TA semalaman, makan hanya sekali dalam sehari. Kadang saya bimbingan malam dan pulangnya pun jam 22.00 sesampai di rumah. kadang pernah juga dari jam 08.00 sampai jam 21.00 dikampus. Karena apa? Karena pengerjaan tugas akhir tersebut dan karena jadwal bimbingan yang malam. Kalau pun pulang lagi, itu hanya membuang-buang waktu. Rumah dan kampus lumayan jauh, satu bahkan dua jam perjalanan.

Semuanya saya lakukan demi terselesaikannya tugas akhir tersebut. Tiada hari tanpa mengerjakan TA. Alhamdulillah, fisikku kuat. Selama 6x ngga tidur, tidurpun hanya satu jam, seharian dikampus sampai malam, makan sekali dalam sehari, selama itu ditemani dengan bertumpuk-tumpuk kertas dan laptop, kadang pernah ketiduran saat laptop masih nyala dan tumpukan kertas berserakan. Pokoknya, bener-bener ngga keurus deh.

Entah, kalau saya sudah memiliki target dan keinginan yang tidak ingin mengecewakan orangtua. Apapun itu saya lakukan tanpa mempedulikan kondisi fisik saya. saya tahu tubuhpun memiliki hak, dan banyak sekali teman-teman yang bilang kepada saya jangan dzholim kepada tubuh sendiri. tapi saya tidak mendengarkannya. Saya selalu bilang kepada diri saya sendiri “ayo dina! Lo harus segera menyelesaikan tugas akhir ini, kalau lo mau lulus tepat waktu. Lo kuat! Lo sensing, sensing jangan loyo! Mana dina yang dulu seneng nya ikut bela diri? Yang ngga pernah capek dengan rutinitasnya. Kasian ortu kalau lo ikut periode 2.” dan masih banyak ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut saya di depan cermin.

Ya, selama itu saya selalu melakukan rutinitas yang sama demi terselesaikannya tugas akhir tak lupa meminta doa kepada orangtua dan teman-teman. sampai akhirnya saya selesai duluan. Kemarin saya mengajukan semua judul beserta cover, lampiran. Yah, pokonya dari awal banget sampai akhir. Dan saat itu juga kampus GEMPARRRR!!!!!

Ana bilang kepada saya “dina udah selesai duluan ya? Kok cepet banget sih”
“Kata siapa? Kok tau?” ujar ku, kaget.
“Siapa tuh kemarin yang bilang, dan udah kesebar keseluruh anak semester akhir. Tapi hanya yang jurusan KA (Komputerisasi Akuntansi) saja” ujar ana
“Duh, siapa sih itu yang ngomong? Yeeelaaaaa”

Saat itulah, saya mulai risih. Kenapa? Banyak yang nanya tentang pengerjaan tugas akhir saya bisa selesai cepat. Bukan begitu. Saya males cerita, nanti malah dikira sombong atau pamer. Yaa males lah pokoknya. Haha

Kemarin pas saya bimbingan dosen pembimbing menuliskan nama saya di urutan nomor pertama untuk mendaftarkan saya ujian sidang, pendaftarannya sih masih lama, dan saat ini masih ada bimbingan beliau.. Alhamdulillah tinggal menunggu jadwal sidang keluar saja.

Ya, begini lah kalau udah punya target. Saat yang lain masih santai-santai saya sudah mulai sibuk dan gamau diem. Pengennya selesai cepat.

Dan saya, minta doa untuk pembaca blogger saya. Agar saya dapat lulus tepat waktu, dan dipermudah olehNya. Terimakasih




@dinanurhayatii
Jumat, 13 Juni 2014 0 komentar

Memantaskan Diri


Sebab ternyata, memantaskan diri bukan hanya untuk urusan jodoh. Bahkan kepemimpinan pun adalah soal memantaskan diri. Maka sudahlah tepat jika kita lebih sering menunjuk-nunjuk hidung sendiri. Mengintrospeksi diri. Mengoreksi akidah, akhlak, dan muamalah keseharian kita. Kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Sudahkah pantas kita dipimpin oleh orang-orang yang mulia?”

Ada satu hal yang sepertinya luput dari perhatian para cybertroops. Mungkin kedengarannya sotoy, sok tahu, sok ye, tapi biarlah, hari ini saya memang sedang ingin sedikit berbusa-busa membicarakan apa yang juga sedang dibusa-busakan orang. Biar ikut mainstream. Biar postingan saya ga melulu soal perasaan.

"Sebagaimana keadaanmu, begitulah pula munculnya pemimpin-pemimpin di antaramu."

Kalimat di atas bukan quote saya. Itu sabda Nabi.
Adakah korelasinya? Tentu saja ada. Rakyat jelata seperti kita sering latah menunjuk-nunjuk hidung para pemimpin, menghakimi ini dan itu, melegitimasi mereka sebagai biang kenestapaan negeri ini. Iya juga sih, seringkali kita menemukan barisan pemimpin yang serakah, lalai, dan suka jalan-jalan ke luar negeri atas nama studi banding, pake duit rakyat. Tapi semoga saat menunjuk hidung orang lain, kita pun tidak lupa menunjuk hidung dan jidat kita sendiri.
Pemimpin adalah sebenar-benar cermin dari rakyatnya, sebab sebelum didaulat menjadi pemimpin, ia juga rakyat biasa, kan? Apalagi dalam praktik demokrasi seperti ini, mereka yang terpilih adalah cermin dominasi kualitas rakyatnya. Maka kadang logika saya terbalik. Mujurlah para kandidat yang tidak terpilih. Itu tandanya, ia tidak sebagaimana rakyatnya. Hehe.

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan,

"Perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat dzalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat dzalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat.”
Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.” [Ibnu Qayyim Al-Jauziyah]
Semoga Bapak-Bapak capres-cawapres beserta jajaran troops-nya pernah membaca sabda Nabi di atas, bahkan bila perlu membaca pula nasehat panjang Ibnu Qayyim. Biar ada misi penyelamatan moral bangsa yang disematkan dalam pidato-pidato mereka. Paling tidak, mereka tampak peduli dengan berbagai kemaksiatan yang merata di kalangan masyarakat. Minimal, mereka ikut miris dengan kasus sodomi di Sukabumi dan prostitusi di Surabaya.

Saya sih yakin sampe 7 turunan bahwa mereka tidak mengenal rakyat jelata yang menuliskan ini. Hehe. Jadi mungkin, harapan saya lebih mirip pepesan kosong yang entah bagaimana caranya sampai ke telinga mereka, bahkan mengurat nadi menjadi nafas perjuangan mereka. Kedengerannya mustahil emang. Tapi biarlah. Semoga itu menjadi bagian dari doa. Doa orang yang terdzalimi itu makbul, katanya. Bukankah kita ini rakyat jelata yang merasa terdzalimi? Jika iya, maka banyak-banyak saja berdoa, daripada sibuk mencemooh dan menghembuskan citra orang lain. Dan kepada Bapak Capres-Cawapres, jika pun ada rakyat yang merasa terdzalimi, kemudian berdoa, jangan kemudian lupa bahwa doa pemimpin yang adil pun diijabah, Pak. Tidakkah Anda iri?
Jika timbul kegalauan bahwa pemimpin kita jauh dari kata IDEAL, maka bolehlah kita juga sedikit menerawang kepada yang lebih dekat. Jangan-jangan karena kita memang pantas dipimpin oleh orang-orang semacam itu, yang kita cemooh sepanjang hari, yang menjadi bahan pencitraan di setiap sudut media massa.
Ingatkah kita dengan kata-kata Omar II, yang tidak lain ialah ‘Umar bin Abdul Aziz. Satu dari dua ‘Umar hebat yang pernah terekam sejarah. Dalam sebuah pidatonya di atas mimbar,
"Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allaah, sebab ketakwaan akan memberikan akibat yang baik dalam setiap hal."
Kemudian dengan suara dan partitur lirik yang lebih harmoni dan menghunjam urat nadi, ia menutup pidatonya dengan,
"Wahai Saudaraku sekalian, taatilah aku selama aku memerintahkan kalian untuk menaati Allaah. Namun jika perintahku mendurhakai-Nya, maka sedikitpun kalian tidak boleh taat kepadaku dalam hal itu."
Saya percaya, masih ada hati yang merindukan pidato semacam itu menggema di atas mimbar-mimbar para pemimpin negeri.



@dinanurhayatii
Minggu, 08 Juni 2014 0 komentar

Menulis

Cobalah, mulai biasakan menulis untuk diri kita sendiri. Benar-benar untuk diri kita sendiri. Untuk merawat jiwa kita agar senantiasa baik-baik saja. Agar semakin teguh dalam bersabar. Agar semakin peduli dengan orang lain. Agar semakin kukuh dalam memperjuangkan kebaikan-kebaikan, banyak atau sedikit, besar ataupun kecil.

Titipkan dalam tulisan-tulisan itu, bahasa-bahasa yang sungguh. Bahasa-bahasa yang punya rasa. Bahasa-bahasa yang asalnya benar-benar dari dalam hati dan pikiran kita. Biarkan ia menjelma dalam rangkaian kata hingga kalimat. Biarkan ia padu dalam paragraf yang kita susun. Dalam bentuk cerita atau prosa. Dalam bentuk puisi atau sekedar huruf-huruf tak berjudul.

Melewati hari-hari yang panjang, melalui waktu-waktu yang seolah tak berjeda, membuat kita seringkali terlupa, seringkali abai tuk menyirami diri kita dengan pesan dan nasehat-nasehat. Yang lahirnya bukan dari kata-kata orang lain, melainkan dari rahim pengalaman-pengalaman, serta nasib yang membersamai kita.

Nanti, suatu saat nanti, tulisan kita yang melapangkan saat dada kita sempit. Tulisan kita yang menuntun saat kita terseok-seok. Tulisan kita pula yang meraih saat kita terjatuh. Sebab dalam setiap tulisan itu, kita memang hendak berkata, hendak membisikkan, serta hendak menjadi sahabat, dengan diri kita sendiri.

Maka mulailah menulis. Menulis untuk merawat jiwa kita.



@dinanurhayatii
 
;