Minggu, 23 November 2014 0 komentar

Bapak



Lambaian nyiur menyiratkan angin yang tak pelan sedang menyapa
Dibawah pohon kita duduk memangku sepi
Ada rindu tersesap lewat aroma teh kampung
Ada cinta yang termaktup lewat suapan nastar.

Wajah senjamu, tak sesenja senja hari ini
Dimana ia menua dalam jingga tanpa ampun
Ku telusuri pemikiranmu lewat mata sayumu
Kulitmu mulai luruh dimakan waktu
Adalah rambutmu menuai suci warna awan yang bijak.

Bapak..
Diammu memainkan khawatir dalam sanubari
Akankah masa studiku kau ungkit?
Akankah skripsi ku kau ulas?
Tak ada kata, hanya irama alam sore khas kampung yang ku tangkap, hingga malam mengantar gemintang. Hanya senyap yang pisahkan kebersamaan dibawah was-was.

Bapak..
Apa kau tahu?
Lelehan waktu ini begitu ku jaga
Desir angin ini ingin ku rangkum
Dalam memori tentang “mengertimu”.

Ah..
Aku memang belum jadi insinyur
Bahkan mimpiku ku pun telah menguap bersama bara tungku perapian
Lalu apa yang bisa aku persembahkan untukmu?

Ku tahu bahasa diammu adalah pemakluman
Ku tahu dalam naluri kebapak-an mu
Kau tak mau menyentuh zona rahasiaku
Ku tahu dalam seruput teh mu kau sembunyikan rasa penasaranmu
Ku paham dalam suapan nastar itu kau sisipkan tabah
Ku tahu dalam bahasa tubuhmu kau doakan sukses ku.

Tolonglah terus sehat!

Karena aku ingin mempersembahkan kesuksesanku untukmu.





@dinanurhayatii
Sabtu, 22 November 2014 1 komentar

Belajar Kehidupan


Sudah sebulan lamanya tinggal di jakarta, sedih melihat saudara semuslim yang sangat kekurangan.

Pagi, sekitar pukul 07.00 saat saya sedang melakukan perjalanan untuk berangkat bekerja, saya melihat seorang ibu beserta anak perempuannya sedang mengubek-ubek tong sampah, mencari gelasan demi gelasan atau botol minuman atau bahkan kaleng minuman dan lainnya, untuk menghidupi kebutuhan setiap harinya, hanya demi sesuap nasi. Karung yang dibawanya pun penuh dengan puluhan botol serta kaleng minuman tak bisa membayangkan betapa beratnya karung tersebut, terlebih anak perempuannya yang sepertinya seumuran anak kelas 3 SD sedanag membawa karung yang berisi sampah kaleng dan botol-botol minuman tersebut. Tak tega, sangat tak tega melihatnya. Seketika keluar lah air dari sudut mataku, deras.. sangat deras..

Lalu, saat pulang dari kantor. Tak jauh dari tempat kantor, saya melihat seorang bapak tua yang setiap harinya ia menjadi tukang parkir sedang mengubek-ngubek tong sampah juga. Seketika saya menangis saat melihat bapak tersebut makan, makanan yang ia ambil dari tong sampah.
YaAllah betapa kekurangannya saudara muslim di negriku, sehingga makanan yang dimakan olehnya sangat tak layak disebut makanan.

Pun, seorang kakek tua yang sedang mengais gerobak mejual abu gosok yang mungkin sudah tidak ada lagi masyarakat yang menggunakannya.

Beberapa hari setelahnya, saat saya sedang berjalan menuju salah satu halte transjakarta. Saya bertemu dengan seorang anak kecil yang  masih memakai baju seragam sekolah. Menawarkan tissu kepada saya, saya ajak dia duduk bersama saya di sebuah halte yang tak jauh dari halte transjakarta. Saya berbincang-bincang dengannya cukup lama sehingga tak kusangka keluarlah air pada kedua pulupuk mata ini.

Mengapa begitu? Karena saat saya berbincang dengan anak laki-laki tersebut saya teringat oleh adik saya sendiri yang memang masih bersekolah, saya membayangkan bagaimana kalau adik saya yang berada diposisinya. “YaAllah kuatkan ia, tabahkan hatinya untuk menjalani kehidupan ini L” ia hanya menawarkan 1 buah tissu yang dijualnya seharga 9000 untuk ongkos ia pulang kerumah dan sebagiannya ditabung untuk membeli baju batik sekolahnya.

Sungguh, sedih sekali melihat realita kehidupan saudara semuslim kita, yang sangat jauh dari kehidupan yang layak. Saat ini kita bisa tidur dengan nyaman dan layak, bisa makan dengan makanan yang enak, bisa pergi berlibur, bahkan bisa melakukan sesuatu yang kita mau dengan segala kelebihan harta yang kita miliki. Tapi tidakkah kita lihat, masih sangat banyak saudara-saudara kita yang sangat kekurangan, hidup digaris kemiskinan yang menurut saya sangat benar-benar miskin, karena untuk makan saja mesti mencarinya dari tong sampah.

Atau bahkan seorang anak yang seharusnya berfokus hanya pada sekolahnya, kini ia harus mengais rupiah demi rupiah saat ia sebelum atau sepulang sekolah. Atau yang lebih parahnya lagi mereka terancam putus sekolah. Dimanakah hati nurani kita sebenarnya?

Atau bahkan kita melihat seorang kakek atau nenek, yang seharusnya di masa tua mereka dapat hidup dengan segala kebutuhan yang layak. Tapi, fakta yang selalu kita lihat saat ini, mereka masih saja bersusah payah hanya demi sesuap nasi, penghasilan yang didapatkan dengan energi yang ia keluarkan sangat tidak sebanding.


Disini, saya belajar arti sebenarnya kehidupan dan saya dapat memasuki kehidupan orang lain, belajar merasakan ada pada posisi mereka dan membantunya dengan suatu hal yang saya punya. Dibalik rezeki yang diberikan olehNya ada bagian untuk mereka yang sangat membutuhkan. Karena hidup tak hanya untuk memikirkan diri sendiri, tetapi ada hak orang lain yang harus kita bagi.



@dinanurhayatii
0 komentar

Anak Kost-an


Sudah lama sekali akun blogger saya tidak di bersihin dari para gelandangan dan sarang laba-laba, serta sampah yang berserakan. Hehe
Sudah lama sekali  hati penulis akun ini tidak di isi.

Yap, ini kali pertama saya jadi anak kost-an.
Antara enak dan ngga enak, hidup serba mandiri. Biasanya mau makan disiapin, dimasakin. Sekarang semuanya serba sendiri.
Dari sini juga saya berlajar, dan benar-benar belajar kehidupan.
Semuanya apa adanya, tidak ada fasilitas yang saya bawa di kostan. Laptop dan handphone android pun sengaja saya tinggal di rumah. Sebelum berangkat ngantor masak dulu, dan melakukan segala hal yang ibu lakukan saat sebelum jadi anak kost-an

Benar-benar ingin belajar mandiri, tidak bergantung pada orangtua.
Kaget memang, tapi inilah yang harus saya jalani. Hidup dijakarta dengan modal yang pas-pasan. Dari uang tabungan sendiri. dari sini juga saya belajar bagaimana cara memposisikan uang, dari sini juga ke istiqomahan saya di uji.

Alhamdulillah saya serahkan semuanya kepadaNya, baik dan buruknya. Sehingga apa yang saya jalani lancar.

Saya pernah merasa benar-benar down, dimana saat saya terkena musibah disitulah otak saya berputar dan harus bergerak lebih cepat “bagaimana saya bisa mengatasi ini semua” sedangkan orangtua serta sahabat berada jauh, namun Allah tak meninggalkan ku sedetikpun.

Dia selalu menemaniku sampai aku musibah ini selesai. Dan ada titik dimana keimanan ku pun diuji olehNya. Alhamdulillah sampai saat ini tetap berpegang teguh pada pendirian.

Bener-bener hidup menjadi anak kost-an tidak semulus yang saya bayangkan dahulu.

Tapi, saya bersyukur. Dari sini lah saya belajar menyikapi segala hal dengan baik, belajar lebih dewasa dan tidak selalu kekanak-kanakan dalam menyikapi masalah.


@dinanurhayatii
 
;