Sudah sebulan lamanya tinggal di
jakarta, sedih melihat saudara semuslim yang sangat kekurangan.
Pagi, sekitar pukul 07.00 saat saya
sedang melakukan perjalanan untuk berangkat bekerja, saya melihat seorang ibu
beserta anak perempuannya sedang mengubek-ubek
tong sampah, mencari gelasan demi gelasan atau botol minuman atau bahkan kaleng
minuman dan lainnya, untuk menghidupi kebutuhan setiap harinya, hanya demi
sesuap nasi. Karung yang dibawanya pun penuh dengan puluhan botol serta kaleng
minuman tak bisa membayangkan betapa beratnya karung tersebut, terlebih anak
perempuannya yang sepertinya seumuran anak kelas 3 SD sedanag membawa karung
yang berisi sampah kaleng dan botol-botol minuman tersebut. Tak tega, sangat
tak tega melihatnya. Seketika keluar lah air dari sudut mataku, deras.. sangat
deras..
Lalu, saat pulang dari kantor. Tak jauh
dari tempat kantor, saya melihat seorang bapak tua yang setiap harinya ia menjadi
tukang parkir sedang mengubek-ngubek tong sampah juga. Seketika saya menangis
saat melihat bapak tersebut makan, makanan yang ia ambil dari tong sampah.
YaAllah betapa kekurangannya saudara
muslim di negriku, sehingga makanan yang dimakan olehnya sangat tak layak disebut
makanan.
Pun, seorang kakek tua yang sedang
mengais gerobak mejual abu gosok yang mungkin sudah tidak ada lagi masyarakat
yang menggunakannya.
Beberapa hari setelahnya, saat saya
sedang berjalan menuju salah satu halte transjakarta. Saya bertemu dengan
seorang anak kecil yang masih memakai
baju seragam sekolah. Menawarkan tissu kepada saya, saya ajak dia duduk bersama
saya di sebuah halte yang tak jauh dari halte transjakarta. Saya berbincang-bincang
dengannya cukup lama sehingga tak kusangka keluarlah air pada kedua pulupuk
mata ini.
Mengapa begitu? Karena saat saya
berbincang dengan anak laki-laki tersebut saya teringat oleh adik saya sendiri
yang memang masih bersekolah, saya membayangkan bagaimana kalau adik saya yang
berada diposisinya. “YaAllah kuatkan ia, tabahkan hatinya untuk menjalani
kehidupan ini L”
ia hanya menawarkan 1 buah tissu yang dijualnya seharga 9000 untuk ongkos ia
pulang kerumah dan sebagiannya ditabung untuk membeli baju batik sekolahnya.
Sungguh, sedih sekali melihat realita kehidupan
saudara semuslim kita, yang sangat jauh dari kehidupan yang layak. Saat ini
kita bisa tidur dengan nyaman dan layak, bisa makan dengan makanan yang enak,
bisa pergi berlibur, bahkan bisa melakukan sesuatu yang kita mau dengan segala
kelebihan harta yang kita miliki. Tapi tidakkah kita lihat, masih sangat banyak
saudara-saudara kita yang sangat kekurangan, hidup digaris kemiskinan yang
menurut saya sangat benar-benar miskin, karena untuk makan saja mesti
mencarinya dari tong sampah.
Atau bahkan seorang anak yang seharusnya
berfokus hanya pada sekolahnya, kini ia harus mengais rupiah demi rupiah saat
ia sebelum atau sepulang sekolah. Atau yang lebih parahnya lagi mereka terancam
putus sekolah. Dimanakah hati nurani kita sebenarnya?
Atau bahkan kita melihat seorang kakek
atau nenek, yang seharusnya di masa tua mereka dapat hidup dengan segala
kebutuhan yang layak. Tapi, fakta yang selalu kita lihat saat ini, mereka masih
saja bersusah payah hanya demi sesuap nasi, penghasilan yang didapatkan dengan
energi yang ia keluarkan sangat tidak sebanding.
Disini, saya belajar arti sebenarnya
kehidupan dan saya dapat memasuki kehidupan orang lain, belajar merasakan ada
pada posisi mereka dan membantunya dengan suatu hal yang saya punya. Dibalik
rezeki yang diberikan olehNya ada bagian untuk mereka yang sangat membutuhkan. Karena
hidup tak hanya untuk memikirkan diri sendiri, tetapi ada hak orang lain yang
harus kita bagi.
@dinanurhayatii