Senin, 12 September 2016

Menikah

Nikah. Berkeluarga

Topik itu memang sesang menjadi bahasan menarik dibeberapa kelompok sekitar. Wajar, karena di usia dewasa muda dorongan untuk berkeluarga dan memiliki pasangan lawan jenis sangat besar. Jadi, tidak ada yang perlu dikeluhkan bukan?

Jujur, ketika pertama kali Ramadhan tahun lalu ramai di twiter topik tentang menikah muda dan tagar #UdahPutusinAja, ada gerakan baru untuk berpikir jauh kedepan, berpikir bukan untuk sekedar main-main ketika berinteraksi pada lawan jenis.

Tapi beberapa hari terakhir, grup whatsapp saya bener-bener full membahas soal nikah, bahkan ada yang dilanjut sampai pagi. Topik bahasannya menarik buat saya.

Kemudian tergelitik karena @prisiliara sempat ngetweet bagaimana soal menikah muda, ini belum menceritakan semua sisi dengan adil. Semua yang ditampilkan adalah yang mudah, indahnya hidup pasca menikah dan lainnya. Belum ada yang cerita bagaimana tantangan dan duka setelah pernikahan. Simpelnya, ia pernah mengatakan;

"Coba yang mau nikah, tahan ga kalau denger anak nangis mulu tengah malem?"

Saya bukan orang yang anti nikah muda, hanya saja gemes rasanya kalau nikah dijadikan alasan kebaikan yang tak perlu persiapan.  Simple nya gini, teman kantor saya pernah nanya; kenapa saya punya life plan dalam hidup? Kenapa saya punya target untuk berkeluarga dan menjadi ibu?

Jawaban singkat saya;

Saya mencoba menghitung waktu optimal yang saya punya untuk berkarir, karena jika sudah menjadi ibu, I want to be a full time mother. Tapi, saya harus tetap memastikan waktu optimal berkarir saya cukup untuk mencapai target saya.

Sudah banyak saya temui teman perempuan saya, yang menikah kemudian tenggelam. Seolah mimpi-mimpi besar yang dibicarakan dulu tidak lagi ada, sebenarnya itu tergantung orang sih, bisa aja kan itu menjadi cita-citanya sekarang? Hanya saja yang saya pahami, menikah itu seharusnya melejitkan potensi. Bagaimana kekurangan seseorang bisa ditutupi dengan kelebihan pasangannya. Bagaimana dua orang tersebut saling bahu membahu menggapai mimpi mereka.

Itulah menurut saya bagian terberatnya. Bagaimana dua manusia ini, bisa saling menghidupkan mimpi-mimpinya ditengah kewajiban seorang suami-istri bahkan ayah-ibu. Kita sendiri aja kadang kewalahan bukan untuk mengatur bagaimana bisa mencapai target-target salam hidup. Padahal saat ini baru menjadi seorang makhluk, warga negara, anak, pelajar atau pekerja. Well, saya mencoba untuk ber khusnuzan dan berdoa semoga semua yang saya lihat ini adalah sebuah proses. Bahwa pada akhirnya fase "tenggelam" ini cuma proses dari kehidupan panjang yang sudah teman-teman saya dan pasangan rencanakan.

Sisi yang saya utarakan disini mungkin feminis banget. Karena saya tidak paham bagaimana sisi laki-laki ketika akan menikah. Intinya, yuk kita berpikir dengan bijak, dulu banget juga ada yang posting tentang "Mari menikah dengan bijak" kan kalau memang segera untuk menikah mau bersiap! Mari lihat konsekwensinya, siapkan diri.

Karena sebagaimana yang saya yakini, setiap kita pasti hanya ingin keluarga kita satu untuk selamanya, baik dunia maupun akhirat.

Jakarta, 28 september 2016

0 komentar:

 
;