Minggu, 13 April 2014

Selaksa Hujan


Seusai definisi, deskripsi menyeruak, membilang, menjejak, dan menjalar. Pengertian yang dijelaskan, satu kali, dua-tiga, dan berkali-kali lagi hingga akhirnya mengakar suatu pemahaman setengah jadi. Katanya melalui aksi, sebab manfaat jadi harga mati, lagi-lagi berulang kali, hingga pemahaman pun sudah benar-benar jadi dan terlengkapi. Dengan ini pengetahuan mulai terungkapi.

Kau bertanya, dan aku menjawab. Kadang aku tahu jawabnya, dan kadang pula tak tahu maknanya. Kau pun begitu. Kita saling melengkapi jawaban, merangkai makna, sebab rasa tidak bisa dirangkai sendiri. Sebab jama’ah itu lebih kuat dan jauh jauh lebih teguh. Sebab ketika bersama tak ada yang tidak bisa diarungi. Sebab logika kebersamaan tak pantas sama dengan logika individualis. Dan logika perasaan jauh lebih tidak sama dengannya. Kau dan aku, yang saling menjawab dalam derasnya hujan.

Ada sebuah cerita. Ketika kakimu terluka dan jemariku teriris pisau dapur. Darah sama-sama mengalir. Tentu saja warna darah kita sama. Sebab nenek moyangmu adalah nenek moyangku, Kita cuma berbeda silsilah garis keturunan saja. Mungkin kau menuruni darah Sumatera. Dan aku menuruni darah Jawa. Tapi sialnya itu bukan kita. Darah kita ini sudah bercampur padu dalam satu tubuh yang dikehendaki mejadi wadah ruh kita. Sebab itu mari kita sebut darah ini Indonesia, sebab tidak jelas kita suku apa, pun wajah dan fisik ganteng dan cantik kita sudah anugrah dari Yang Maha Kuasa.

Ingatkah kau terakhir kali kita bertemu. Ketika kau bilang ingin memeluk hujan dan doamu terkabul sesudahnya? Tahukah kau? Ketika kita berpisah di ujung jalan segitiga, keinginan itu menyeruak begitu saja. “aku juga ingin.” Kataku dalam hati. Sebab hujan membersamai kita, sebab hujan melingkupi perasaan kita, sebab hujan menggenapi doa yang kita hujamkan bersama ke langit. Kepada Yang Maha Kuasa. Dan di atas kendaraan roda dua itu, hujan kembali merengkuh diriku yang tertawan di tengah jalan beraspal. Sebab hujan tak hanya melulu bicara tentang bahagia, juga tak melulu bicara soal kesedihan, sebab hujan menggenapi semuanya, membawa rahmat yang ditiupkan oleh-Nya.

Kita belum pernah saling bercerita tentang mimpi dan cita-cita, pun satu hal yang pasti bahwa kita tidak suka menjadi sia-sia. Sebab kesia-siaan adalah sebuah kehampaan, dan kehampaan berarti hidup segan mati pun tak mau. Sebab kita manusia yang terlalu hidup. Dihidupkan oleh-Nya, dan juga di jaga oleh-Nya. Sebab kita haus akan berbuat amal baik, hati kita dehidrasi jikalau lama tak bersentuhan dengan hati manusia lainnya, sebab sesungguhnya perasaan kita satu sama lain saling terhubung. Ada yang berlinear, horizontal, vertikal, zig-zag, pun spiral. Jalan apapun yang kita tempuh, jikalau hati kita hanya berharap kepada Yang Maha Kuasa, Insyaallah tujuan kita sama, hanya waktu sampai yang berbeda.

Ada sebuah akhir yang diharapkan, ada sebuah perasaan yang tak sanggup dikatakan, ada cita yang dituju, ada kita yang berdiri di sini, di atas jalannya masing-masing. Pun tak pernah melihat akhir dari sebuah perjalanan, ada keyakinan yang terbangun, ada usaha yang tersusun, tidak jarang darah dan nyawa menjadi taruhannya.. Bukan hal baru pula kalau air mata selalu mengalir karenanya. Sebab indahnya hidup selalu terjadi setelah lelahnya berjuang. Bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian.

Sebab berusaha di tengah mencapai cita, sama ketika kita mencintai seseorang. Sebab perasaan adalah tentang terjatuh, dan mencapai cita sama dengan menjatuhkan diri. Berpeluh-peluh, bersusah-susah, bermanis-manis. Sebab berusaha mencapai cita dan mencintai itu adalah sama. Sudahkah kau dan aku mencintai Tuhan kita?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Din, kisah pribadi? Hehe

Unknown mengatakan...

Hem.. Kalau dikasih tau nanti ketahuan :p

 
;