Mungkin kiranya kita sejenak berterima kasih pada hati.
Yang menjadikan kasat dalam rasa terbuncah keluar dalam kata-kata. Yang selalu
jujur membisikkan kisah tentang apa-apa yang belum terjadi. Yang selalu peka
tentang apa-apa yang biasa dianggap buta. Bukankah isyarat itu sebenarnya ada
dan nyata?
Hati sesungguhnya tak pernah memilih pihak. Ia sejatinya
hanya mengalir dan kemudian sejenak tertambat. Tetapi sebagaimana ulir selalu
pulang kepada keleluasaan bukan? Kepada penerimaan yang lapang. Bagai mata air
yang mengalir ke sungai dan sungai yang meneruskan sampai ke lautan.
Akan tetapi jika teman sepanjang perjalanan yang kini tidak
lagi memihak, rasa, hati dan waktu pun bisa tidak lagi menjadi kawan. Jarak
bisa pula dipersalahkan, begitu juga komitmen untuk saling menopang langkah.
Ulir tak lagi lancar, bahkan bisa pula naik dan terjadilah banjir bandang.
Tidak ada yang ingin berkalung kesedihan dan penderitaan, terutama dalam cinta.
Tak mungkin ada kompromi pula dalam sebuah cinta. Jikalau
ada mungkin itu hanya akal-akalan semata yang mengatasnamakan cinta demi sebuah
kepentingan. Kepentingan keluarga, kepentingan eksistensi dan bahkan
kepentingan masa depan. Lantas mengapa tanya ini hanya berakhir pada satu sisi
saja? Mungkin karena sisi lainnya tak lagi punya tujuan sama, mungkin karena
alirnya tertambat entah kemana sedangkan pasangannya sudah bergulir duluan.
Tak ada yang bisa dipersalahkan. Bahkan untuk cinta maupun
rindu. Untuk temu maupun pisah. Untuk pergi maupun kembali.
Akan tetapi…
Jika ada yang berkata bahwa kebahagiaan adalah pertaruhan
antara dua insan, maka mungkin bisa kita jawab bersama "Aku sedang kalah taruhan".
@dinanurhayatii
0 komentar:
Posting Komentar