Kamis, 19 Juni 2014

Bertaruh

Betapa hati membuat hidup tampak lebam dimana-mana. Seperti jingganya senja yang menyedihkan, seperti rerumputan liar yang memonopoli pekarangan. Juga seperti, aku mengenal kamu saat sedang melucuti jiwa dari durja. Atau barangkali, kala itu, jiwa kita memang di tengah-tengah embara lalu bertemu…
Mungkin kiranya kita sejenak berterima kasih pada hati. Yang menjadikan kasat dalam rasa terbuncah keluar dalam kata-kata. Yang selalu jujur membisikkan kisah tentang apa-apa yang belum terjadi. Yang selalu peka tentang apa-apa yang biasa dianggap buta. Bukankah isyarat itu sebenarnya ada dan nyata?
Hati sesungguhnya tak pernah memilih pihak. Ia sejatinya hanya mengalir dan kemudian sejenak tertambat. Tetapi sebagaimana ulir selalu pulang kepada keleluasaan bukan? Kepada penerimaan yang lapang. Bagai mata air yang mengalir ke sungai dan sungai yang meneruskan sampai ke lautan.
Akan tetapi jika teman sepanjang perjalanan yang kini tidak lagi memihak, rasa, hati dan waktu pun bisa tidak lagi menjadi kawan. Jarak bisa pula dipersalahkan, begitu juga komitmen untuk saling menopang langkah. Ulir tak lagi lancar, bahkan bisa pula naik dan terjadilah banjir bandang. Tidak ada yang ingin berkalung kesedihan dan penderitaan, terutama dalam cinta.
Tak mungkin ada kompromi pula dalam sebuah cinta. Jikalau ada mungkin itu hanya akal-akalan semata yang mengatasnamakan cinta demi sebuah kepentingan. Kepentingan keluarga, kepentingan eksistensi dan bahkan kepentingan masa depan. Lantas mengapa tanya ini hanya berakhir pada satu sisi saja? Mungkin karena sisi lainnya tak lagi punya tujuan sama, mungkin karena alirnya tertambat entah kemana sedangkan pasangannya sudah bergulir duluan.
Tak ada yang bisa dipersalahkan. Bahkan untuk cinta maupun rindu. Untuk temu maupun pisah. Untuk pergi maupun kembali.
Akan tetapi…
Jika ada yang berkata bahwa kebahagiaan adalah pertaruhan antara dua insan, maka mungkin bisa kita jawab bersama "Aku sedang kalah taruhan".



@dinanurhayatii

0 komentar:

 
;