Selasa, 28 Juni 2016

Langit II

Aku selalu suka menatap langit. Biru gelap keunguan didini hari, biru teduh dengan semburat kekuningan dipagi hari, biru langit menyilaukan di siang hari, jingga saat senja, juga saat gelap gulita dan hanya bisa melihat bintang-bintang dimalam hari.

Entah apa maghnetnya, tapi aku suka. Mungkin semua berawal dari Armageddon, untuk pertama kalinya menonton armageddon di tv dan begitu terpana dengan kehidupan diluar bumi. Ini nih awal mula cita-cita jadi astronom. Iya astronom, nggak mainstream seperti anak kebanyakan yang ingin jadi astronot ya? Hahaha

Menjadi astronom artinya melihat semua keindahan itu dari kejauhan, cukup memandangi dan mengaguminya dari jauh. Cieilaaah filosofi gebetan banget. Haha

Dan disaat itu aku tahu bahwa dunia rupanya tak sebatas mata memandang, ada kehidupan dan sesuatu di luar sana yang tak terlihat. Dari langit, menjadi gerbangnya.

Kalau Ray, di buku Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Tere Liye, 2009) yang suka sekali menatap rembulan, maka aku suka menatap langit. Aku bisa berlama-lama menatap langit karena rasanya tidak pernah melihat pemandangan yang sama. Awannya, kerlip bintangnya, rona merahnya, termasuk rembulannya, semuanya...

Dan ada sesuatu yang lebih dalam, yang aku rasakan saat menatap langit. Rasanya pandangan tiba-tiba menjadi meluas. Terbuka. Lega. Dan, ada keyakinan yang muncul setelahnya. Bahwa, apapun yang terjadi kuasa Tuhan itu nyata adanya.

Bahwa Ia (Yang Maha Kuasa mengatur pergerakan semesta) akan dengan mudah membantu kita jika Ia berkehendak. Bahwa Ia ada, dan kita tidak sendirian.

Setiap kali merasa sesak, pergilah keluar. Buka jendela, dan tatap langit luas itu, dan katakan dengan penuh harap

Bismillah, aku melangkah. Bumi Allah luas, lepas. Di pandang tak berujung, di sentuh tak berbentuk.

Semua tak lagi terasa sesak, dengan namaNya.



Bogor, 28 Juni 2016
Dina Nurhayati

0 komentar:

 
;