Siang itu saya berjalan menuju suatu
pusat pembelanjaan untuk menemani ibu membeli
persediaan dapur. Saya memang tidak terlalu suka berbelanja, tapi kalau diajak
ke toko buku jangan heran kalau saya terlalu dzholim sama isi dompet sendiri
hehe kadang ngga nanggung-nanggung bisa sampai 8 buku saya beli. Seperti
telah kecanduan oleh buku-buku dan dari sekarang lah saya sedang menyicil untuk
membuat Rumah Baca, setidaknya buku dulu yang saya kumpulkan.
Tak beberapa jauh dari pusat
pembelanjaan tersebut saya melihat sosok bapak tua yang sedang berjualan cermin,
saya selalu memperhatikan bapak tersebut dan bicara dalam hati saya “kok yang lain jualan rame, tapi bapak itu
sepi tidak ada pembeli” perlu diketahui bahwa bapak tersebut berjualan
dengan cara mendorong gerobak cerminnya. Dan saya rasa bapak tersebut berkecil
hati karena para pedagang yang lain ramai pembeli sedangkan dirinya sepi tidak
ada yang mengunjungi. Saya melihat bapak tersebut sangat murung, sembari duduk
di atas rumput dan menarik rumput-rumput tersebut. Entah apa yang sedang ia
katakan dihati nya.
Mungkin kalau bisa menduga-duga ia
berkata “kenapa yang lain ramai sendangkan
aku tidak?”. Aahhh.. mungkin itu hanya firasat ku..
Tidak beberapa lama, aku langsung
mendekati si bapak tua tersebut. Karena aku sudah tidak bisa menahan rasa iba
ku.
Oke, pertama aku mulai mendekatinya, timbul
wajah yang berbeda dari bapak tersebut. Beliau mulai tersenyum sembari berkata :
“Mau
cermin yang mana dek?”
“aku,
mau liat-liat dulu yaa pak”
“Iyaa
silahkan dek..”
Sebenarnya saya tidak terlalu butuh
cermin, karena dirumah pun sudah ada 2 cermin. Sampai akhirnya saya membeli
satu buah cermin tersebut sembari ngobrol dengan bapak penjual cermin tersebut.
“pak,
kalau yang ini berapaa?”
“itu
35.000 aja dek”
“ohiyaa
udah aku ambil yang ini yaa pak..” (sambil
memberikan uang 50.000)
“tidak
ada uang pas saja dek? Bapak belum ada pembeli dari tadi pagi”
“Tidak
ada pak. Iya sudah kembaliannya untuk bapak saja, tapi bapak mau cerita sedikit
kepada saya tentang pekerjaan bapak ini?”
“iyaa
boleh dek, enaknya duduk dimana yaa?”
“disini
saja pak..” (sambil menunjuk rumput
yang didudukin bapak penjual cermin tersebut)
***
“pak,
maaf sebelumnya kalau aku agak lancang”
“iyaa,
ngga papa dek”
“kalau
boleh aku tau penghasilan bapak perhari nya berapa pak?”
“ngga
nentu dek, seringnya ngga ada pembeli sama sekali. dari pagi bapak berangkat jam
9.00 sampai pulang jam 20.00 ngga ada pembeli satupun”
“loh,
terus gimana dong sama anak dan istri bapak dirumah? Terus bapak kalau dagang
seperti ini ngga makan siang? Atau sekedar beli makanan pengganjal perut?”
“ngga
dek, kadang bapak hanya mengisi perut bapak dengan air putih yang bapak bawa
dari rumah, atau kadang membawa bekal, kalau pun istri tidak masak karena tidak
ada bahan makanan bapak hanya membeli satu roti untuk seharian. Itu pun kalau
masih ada uang nya”
“SubhanAllah,
bapak ngga laper kalau hanya makan satu roti atau hanya minum air putih saja
selama 20 jam?”
“iyaa,
mau gimana lagi dek. Mau beli makan uang tidak punya, dari pada mengemis. Kadang
bapak berpuasa, kalau pun nyampai rumah belum tentu bisa makan. Bapak harus
meyakinkan anak-anak bapak sudah makan atau belum . kalaupun belum bapak harus menahan
rasa lapar sampai esok hari”
Seketika saya terdiam dan meneteskan air
mata pada saat itu.
Kenapa? Karena saya tak kuasa menahannya,
kalau saya yang berada pada posisi si bapak tersebut, saya tidak bisa
membanyangkan gimana perihnya menghadapi kehidupan. Iyaa singkat memang cerita
saya terhadap si bapak penjual cermin tersebut, ku akhiri perbincangannya
karena hari sudah mulai sore dan saya pun sedang ditunggu oleh Ibu.
“Iya
sudah yaa pak, semoga lain kali kita dapat bertemu lagi. Semoga rezeki
berlimpah ruah terhadap keluarga bapak, dan semoga sabarnya bapak berbuah manis
di akhirat nanti. Mungkin Allah ingin menguji kesabaran bapak didunia, tapi
percayalah pak yang abadi itu hanya di akhirat”
“Aamiin,
terimakasih yaa dek. Atas rezeki dari mu semoga Allah membalas perlakuanmu
terhadap bapak”.
“Pak,
yang memberi rezeki itu Allah, aku hanya perantaranya saja. Berterimakasihlah pada
Allah. Iya sudah yaa pak, saya mau menyusul ibu saya kembali. Hati-hati yaa
pak, semoga cermin nya laku keras yaa.
Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Singkat cerita dari saya, mungkin dapat
menggugah kita semua. Bahwa harta yang banyak itu hanya titipan-Nya, Ia berhak
mengambil kapanpun yang Ia inginkan. Tapi alangkah indahnya kalau kita dapat
berbagi kepada sesama terutama kepada yang lebih membutuhkan.
Semoga keberkahan, kesehatan serta
rezeki kaum bapak tersebut selalu melimpah ruah. Doaku selalu menyertaimu,
untukmu dan untuk kaum muslimin dan muslimat.
Semoga Allah selalu memberikan
penjagaannyakepada kita semua. Aamiin
@dinanurhayatii
2 komentar:
yang bisa saya lakukan cuman mendoakan, tidak seperti dina yg bisa memberi mereka rezeki. malu dengan diri sendiri karna dina bisa melakukan itu tapi saya tidak .
semua orang bisa kok kak, kuncinya hanya pada KEMAUAN..
kalau kita mau membantunya pasti dimudahkan, bukan bisa atau tidak bisa :)
Posting Komentar