Jumat, 07 Maret 2014

Bapak Penjual Cermin

Siang itu saya berjalan menuju suatu pusat pembelanjaan  untuk menemani ibu membeli persediaan dapur. Saya memang tidak terlalu suka berbelanja, tapi kalau diajak ke toko buku jangan heran kalau saya terlalu dzholim sama isi dompet sendiri hehe kadang ngga nanggung-nanggung bisa sampai 8 buku saya beli. Seperti telah kecanduan oleh buku-buku dan dari sekarang lah saya sedang menyicil untuk membuat Rumah Baca, setidaknya buku dulu yang saya kumpulkan.

Tak beberapa jauh dari pusat pembelanjaan tersebut saya melihat sosok bapak tua yang sedang berjualan cermin, saya selalu memperhatikan bapak tersebut dan bicara dalam hati saya “kok yang lain jualan rame, tapi bapak itu sepi tidak ada pembeli” perlu diketahui bahwa bapak tersebut berjualan dengan cara mendorong gerobak cerminnya. Dan saya rasa bapak tersebut berkecil hati karena para pedagang yang lain ramai pembeli sedangkan dirinya sepi tidak ada yang mengunjungi. Saya melihat bapak tersebut sangat murung, sembari duduk di atas rumput dan menarik rumput-rumput tersebut. Entah apa yang sedang ia katakan dihati nya.

Mungkin kalau bisa menduga-duga ia berkata “kenapa yang lain ramai sendangkan aku tidak?”. Aahhh.. mungkin itu hanya firasat ku..
Tidak beberapa lama, aku langsung mendekati si bapak tua tersebut. Karena aku sudah tidak bisa menahan rasa iba ku.

Oke, pertama aku mulai mendekatinya, timbul wajah yang berbeda dari bapak tersebut. Beliau mulai tersenyum sembari berkata :
“Mau cermin yang mana dek?”
“aku, mau liat-liat dulu yaa pak”
“Iyaa silahkan dek..”
Sebenarnya saya tidak terlalu butuh cermin, karena dirumah pun sudah ada 2 cermin. Sampai akhirnya saya membeli satu buah cermin tersebut sembari ngobrol dengan bapak penjual cermin tersebut.

“pak, kalau yang ini berapaa?”
“itu 35.000 aja dek”
“ohiyaa udah aku ambil yang ini yaa pak..” (sambil memberikan uang 50.000)
“tidak ada uang pas saja dek? Bapak belum ada pembeli dari tadi pagi”
“Tidak ada pak. Iya sudah kembaliannya untuk bapak saja, tapi bapak mau cerita sedikit kepada saya tentang pekerjaan bapak ini?”
“iyaa boleh dek, enaknya duduk dimana yaa?”
“disini saja pak..” (sambil menunjuk rumput yang didudukin bapak penjual cermin tersebut)

                        ***

“pak, maaf sebelumnya kalau aku agak lancang”
“iyaa, ngga papa dek”
“kalau boleh aku tau penghasilan bapak perhari nya berapa pak?”
“ngga nentu dek, seringnya ngga ada pembeli sama sekali. dari pagi bapak berangkat jam 9.00 sampai pulang jam 20.00 ngga ada pembeli satupun”
“loh, terus gimana dong sama anak dan istri bapak dirumah? Terus bapak kalau dagang seperti ini ngga makan siang? Atau sekedar beli makanan pengganjal perut?”
“ngga dek, kadang bapak hanya mengisi perut bapak dengan air putih yang bapak bawa dari rumah, atau kadang membawa bekal, kalau pun istri tidak masak karena tidak ada bahan makanan bapak hanya membeli satu roti untuk seharian. Itu pun kalau masih ada uang nya”
“SubhanAllah, bapak ngga laper kalau hanya makan satu roti atau hanya minum air putih saja selama 20 jam?”
“iyaa, mau gimana lagi dek. Mau beli makan uang tidak punya, dari pada mengemis. Kadang bapak berpuasa, kalau pun nyampai rumah belum tentu bisa makan. Bapak harus meyakinkan anak-anak bapak sudah makan atau belum . kalaupun belum bapak harus menahan rasa lapar sampai esok hari”

Seketika saya terdiam dan meneteskan air mata pada saat itu.
Kenapa? Karena saya tak kuasa menahannya, kalau saya yang berada pada posisi si bapak tersebut, saya tidak bisa membanyangkan gimana perihnya menghadapi kehidupan. Iyaa singkat memang cerita saya terhadap si bapak penjual cermin tersebut, ku akhiri perbincangannya karena hari sudah mulai sore dan saya pun sedang ditunggu oleh Ibu.

“Iya sudah yaa pak, semoga lain kali kita dapat bertemu lagi. Semoga rezeki berlimpah ruah terhadap keluarga bapak, dan semoga sabarnya bapak berbuah manis di akhirat nanti. Mungkin Allah ingin menguji kesabaran bapak didunia, tapi percayalah pak yang abadi itu hanya di akhirat”
“Aamiin, terimakasih yaa dek. Atas rezeki dari mu semoga Allah membalas perlakuanmu terhadap bapak”.
“Pak, yang memberi rezeki itu Allah, aku hanya perantaranya saja. Berterimakasihlah pada Allah. Iya sudah yaa pak, saya mau menyusul ibu saya kembali. Hati-hati yaa pak, semoga cermin nya laku  keras yaa. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”

Singkat cerita dari saya, mungkin dapat menggugah kita semua. Bahwa harta yang banyak itu hanya titipan-Nya, Ia berhak mengambil kapanpun yang Ia inginkan. Tapi alangkah indahnya kalau kita dapat berbagi kepada sesama terutama kepada yang lebih membutuhkan.

Semoga keberkahan, kesehatan serta rezeki kaum bapak tersebut selalu melimpah ruah. Doaku selalu menyertaimu, untukmu dan untuk kaum muslimin dan muslimat.
Semoga Allah selalu memberikan penjagaannyakepada kita semua. Aamiin



@dinanurhayatii

2 komentar:

Satrio mengatakan...

yang bisa saya lakukan cuman mendoakan, tidak seperti dina yg bisa memberi mereka rezeki. malu dengan diri sendiri karna dina bisa melakukan itu tapi saya tidak .

Unknown mengatakan...

semua orang bisa kok kak, kuncinya hanya pada KEMAUAN..

kalau kita mau membantunya pasti dimudahkan, bukan bisa atau tidak bisa :)

 
;