Selasa, 19 Agustus 2014

Perempuan Yang Menunggu

Ada jendela disamping rumah putih itu, yang setiap paginya selalu dibuka dengan berderit. Ada senyum yang kemudian muncul, segera saat derit itu hilang. Dan, terkadang ada gelak tawa lembut yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan.

Ada perempuan yang setiap pagi mengintip matahari dari posisinya. Jendela itu masih berderit, hingga saat ini. Namun, senyum yang dulu selalu muncul kini berganti gerimis. Ia tahu, gerimis yang seperti ini yang tidak ia inginkan. Ia hanya sanggup mengintip matahari, berharap ada pelangi berubah dari gerimisnya.

Tapi nyatanya tidak.

Pikirannya selalu melayang pada satu tempat yang setiap hari selalu ia rindukan; taman belakang rumah.

Bangku tua itu sudah lama tak diduduki. Sebagian keropos kerangkanya, sebagian berkarat dan sebagiannya lagi masih bercat, walau sudah terkelupas kulitnya. Sekali-kalinya ia kesana, duduk bercengkrama dengan seseorang. Teman berbagi suka dan duka. Teman hidup katanya.

Ada masa saat keluar malu-malu dari kamar, lantas tak lama berubah senyum dan tawa tak henti hingga pagi. Ada masa saat ia dan pipinya merona, malu-malu mengangguk. Ada masa saat ia sibuk merajut, lantas anak kecil berlarian di hadapan sambil meminta digendong. Ada masa saat ia sendiri, seperti ini, dan yang terjadi hanya memutar kaset-kaset lama.

Ada sosok yang ia rindukan.

Ia pejamkan matanya pelan-pelan, mencoba menghirup memori yang menguap bersama partikel-partikel debu ditaman ini. Semakin sering ia menghirup, semakin tahu rindu itu akan mengisi ruang dalam dadanya. Partikel rindu itu akan bergerak dan bertabrakan satu sama lain. Hingga tak bisa bergerak. Ia sadar, rindu telah membuat dadanya semakin sesak.

Air mukanya kemudian berubah.

Partikel itu kini berpindah masuk kedalam darah. Tiap-tiap sel darah ia minta tempatnya, oksigen diminta mengalah. Partikel itu berjalan keseluruh tubuh, menguasai pembuluh, lantas berdifusi ketiap-tiap jaringan tubuhnya hingga membuatnya semakin didera rasa sakit yang mendalam. Ia juga menguasai tiap-tiap bagian otak, dan tanpa sadar, syarafnya  memberi stimulasi agar ia buang saja sesak-sesak itu dalam bulir air mata.

Jatuh...

Rindu itu seperti membunuh dirinya sendiri.

Jadi ini rasanya menunggu? Jadi ini rasanya didera rindu?

Percaya atau tidak, ini kali pertama ia merasakan sakit yang demikian hebatnya. Rindu itu sudah sampai puncaknya, kadar toksik, sudah bertahun-tahun ia menunggu, namun rasanya tidak sesakit ini. Setiap pagi.

@dinanurhayatii

0 komentar:

 
;