Tulisan
ini adalah karya Sartika
Dian Nuraini, Penyair,
Anggota Bale Sastra Indonesia-Solo. Terbit di Kompas, 16 Januari 2013. Pagi ini
kita diingatkan lagi, apa itu sarjana.
Sarjana adalah potret terang di
depan kamera. Ia menyungging senyum semringah, memakai toga dan baju kebesaran,
dengan latar belakang lukisan buku-buku berjilid klasik yang sangat jarang ada
di Indonesia, ditambahi kehangatan senyum anggota keluarga. Foto itu kelak
adalah tanda sejarah yang meneguhkan keberadaan hingga prestise seseorang,
bahkan seluruh keluarganya.
Kesarjanaan adalah perayaan
kerumunan dan keramaian, pengeras suara, acara makan bersama, dan doa. Dalam
proses pengesahan seorang sarjana dalam wisuda. Kegirangan dan keceriaan dengan
mengabsenkan keheningan dan kekhusyukan. Perayaan kesarjanaan bukan perayaan
literasi.
Kata-kata tidak lagi menjadi
pengesahan kesarjanaan sebagai bentuk sumbangan pemikiran bagi peradaban.
Setiap tahun, ribuan orang boleh saja ditahbiskan menjadi sarjana, tetapi
sungguh sangat sedikit yang akan meninggalkan kata-kata yang berharga hasil
permenungan, pengendapan dalam pikiran, dan kegelisahan intelektualitas
kesarjanaan. Tak ada tagihan moral dan akademis tentang keilmuan,
intelektualitas, kecendekiaan, serta kemanusiaan yang bersifat sosial, politik,
pendidikan, dan budaya.
Manusia ekonomistik
Sebagai gantinya, menjadi sarjana
adalah menjadi manusia ekonomistik. Sarjana adalah manusia pencari dan pencetak
uang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Maka, pengesahan dilakukan dengan
mencari kerja. Pengukuhan seseorang menjadi sarjana disempurnakan dengan
menjadi pekerja. Kutukan seorang sarjana jika dirinya menganggur. Orangtua,
lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara akan menagih seorang sarjana untuk
cepat-cepat menjadi manusia pencari kerja. Maka, para sarjana bergerak dan
berjejal menjadi manusia pelamar kerja dalam bursa kerja.
Dalam kerumunan di bursa kerja
ini, tak perlu lagi membedakan latar belakang studi sastra, teknik, politik,
sejarah, dan lain-lain. Tak penting ilmu yang mereka pelajari di kampus selama
beberapa tahun, toh perusahaan juga sadar bahwa sarjana itu harus dididik lagi
agar sesuai dengan dunia kerja.
Di Indonesia, menjadi sarjana
adalah menjadi manusia kota dan menjadi manusia kantoran. Dalam imajinasi
mereka, sarjana adalah manusia tanpa keringat, manusia yang enggan melipatkan
lengan baju ke atas, manusia yang enggan menyentuh tanah.
Biografi sarjana Indonesia
mengesankan bahwa menjadi sarjana adalah manusia yang enggan pulang membangun
tempat asalnya. Soedjatmoko (1972) pernah mengatakan, ”Lulusan
universitas-universitas di Indonesia makin lama makin berorientasi pada
kota-kota. Harapan mereka tentang karier, tingkat hidup, serta gaya hidup
seolah-olah terikat pada kota. Padahal, sudah menjadi terang bahwa sebagian
kemampuan kita harus kita memanfaatkan tidak hanya untuk memperluas sektor
modern, tetapi juga untuk menggairahkan kembali dan memperkuat kehidupan di
desa-desa.”
Masuk perguruan tinggi adalah
jalan meninggalkan desa-desa dengan menjadi manusia kantor mewarisi rasa
elite-birokrat yang priayi.
Namun, saat bekerja, sebagian
besar makna kerja perlahan mulai menghilangkan rasa kemanusiaan, keilmuan,
religiusitas. Semua hal yang sakral dan vital itu akan terpinggirkan oleh
pamrih uang dan gengsi sosial. Kerja yang merakyat dianggap merendahkan. Mereka
alpa makna bekerja.
Kehilangan martabat
Makna pendidikan dalam bekerja
terasa kabur dan dangkal. Latar belakang dan jenjang pendidikan di Indonesia
sepertinya sudah tidak memartabatkan.
Kita telah kehilangan figur
sarjana dalam arti keilmuan dan pengabdian sebagai laku kesarjanaan. Suluh dan
risalah pemartabatan manusia menguap dalam mentalitas dan etos kesarjanaan yang
kian memudar dan buram. Sarjana kini adalah hamba ekonomi dan bisa melakukan
apa pun untuk memenuhinya, menjual martabat ilmu, menggadaikan kemanusiaan, dan
mengubur etos belajar.
Saya teringat sajak Agus R
Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa
sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum
palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu.” Sarjana semestinya bermartabat!
0 komentar:
Posting Komentar