Rabu, 03 September 2014

Risalah Sarjana

Tulisan ini adalah karya Sartika Dian Nuraini, Penyair, Anggota Bale Sastra Indonesia-Solo. Terbit di Kompas, 16 Januari 2013. Pagi ini kita diingatkan lagi, apa itu sarjana. 
Sarjana adalah potret terang di depan kamera. Ia menyungging senyum semringah, memakai toga dan baju kebesaran, dengan latar belakang lukisan buku-buku berjilid klasik yang sangat jarang ada di Indonesia, ditambahi kehangatan senyum anggota keluarga. Foto itu kelak adalah tanda sejarah yang meneguhkan keberadaan hingga prestise seseorang, bahkan seluruh keluarganya.
Kesarjanaan adalah perayaan kerumunan dan keramaian, pengeras suara, acara makan bersama, dan doa. Dalam proses pengesahan seorang sarjana dalam wisuda. Kegirangan dan keceriaan dengan mengabsenkan keheningan dan kekhusyukan. Perayaan kesarjanaan bukan perayaan literasi.
Kata-kata tidak lagi menjadi pengesahan kesarjanaan sebagai bentuk sumbangan pemikiran bagi peradaban. Setiap tahun, ribuan orang boleh saja ditahbiskan menjadi sarjana, tetapi sungguh sangat sedikit yang akan meninggalkan kata-kata yang berharga hasil permenungan, pengendapan dalam pikiran, dan kegelisahan intelektualitas kesarjanaan. Tak ada tagihan moral dan akademis tentang keilmuan, intelektualitas, kecendekiaan, serta kemanusiaan yang bersifat sosial, politik, pendidikan, dan budaya.
Manusia ekonomistik
Sebagai gantinya, menjadi sarjana adalah menjadi manusia ekonomistik. Sarjana adalah manusia pencari dan pencetak uang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Maka, pengesahan dilakukan dengan mencari kerja. Pengukuhan seseorang menjadi sarjana disempurnakan dengan menjadi pekerja. Kutukan seorang sarjana jika dirinya menganggur. Orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara akan menagih seorang sarjana untuk cepat-cepat menjadi manusia pencari kerja. Maka, para sarjana bergerak dan berjejal menjadi manusia pelamar kerja dalam bursa kerja.
Dalam kerumunan di bursa kerja ini, tak perlu lagi membedakan latar belakang studi sastra, teknik, politik, sejarah, dan lain-lain. Tak penting ilmu yang mereka pelajari di kampus selama beberapa tahun, toh perusahaan juga sadar bahwa sarjana itu harus dididik lagi agar sesuai dengan dunia kerja.
Di Indonesia, menjadi sarjana adalah menjadi manusia kota dan menjadi manusia kantoran. Dalam imajinasi mereka, sarjana adalah manusia tanpa keringat, manusia yang enggan melipatkan lengan baju ke atas, manusia yang enggan menyentuh tanah.
Biografi sarjana Indonesia mengesankan bahwa menjadi sarjana adalah manusia yang enggan pulang membangun tempat asalnya. Soedjatmoko (1972) pernah mengatakan, ”Lulusan universitas-universitas di Indonesia makin lama makin berorientasi pada kota-kota. Harapan mereka tentang karier, tingkat hidup, serta gaya hidup seolah-olah terikat pada kota. Padahal, sudah menjadi terang bahwa sebagian kemampuan kita harus kita memanfaatkan tidak hanya untuk memperluas sektor modern, tetapi juga untuk menggairahkan kembali dan memperkuat kehidupan di desa-desa.”
Masuk perguruan tinggi adalah jalan meninggalkan desa-desa dengan menjadi manusia kantor mewarisi rasa elite-birokrat yang priayi.
Namun, saat bekerja, sebagian besar makna kerja perlahan mulai menghilangkan rasa kemanusiaan, keilmuan, religiusitas. Semua hal yang sakral dan vital itu akan terpinggirkan oleh pamrih uang dan gengsi sosial. Kerja yang merakyat dianggap merendahkan. Mereka alpa makna bekerja.
Kehilangan martabat
Makna pendidikan dalam bekerja terasa kabur dan dangkal. Latar belakang dan jenjang pendidikan di Indonesia sepertinya sudah tidak memartabatkan.
Kita telah kehilangan figur sarjana dalam arti keilmuan dan pengabdian sebagai laku kesarjanaan. Suluh dan risalah pemartabatan manusia menguap dalam mentalitas dan etos kesarjanaan yang kian memudar dan buram. Sarjana kini adalah hamba ekonomi dan bisa melakukan apa pun untuk memenuhinya, menjual martabat ilmu, menggadaikan kemanusiaan, dan mengubur etos belajar.
Saya teringat sajak Agus R Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.” Sarjana semestinya bermartabat!

 @dinanurhayatii

0 komentar:

 
;